Widget HTML #1

Sebuah Cerita Pengalaman Ny. Rokayah yang Berhasil Menangkap Tuyul di Tahun 1977

 Pada tahun 1977, Ny. Rokayah mengalami sebuah pengalaman menarik ketika berhasil menangkap seekor tuyul. Awalnya, ia merasa kesal karena uang yang disimpan di dalam kiosnya selalu berkurang, padahal hanya dia yang memiliki akses ke dalam kios tersebut. Setelah mendapat saran dari orang-orang yang lebih berpengalaman, Ny. Rokayah memutuskan untuk berpuasa selama tiga hari berturut-turut, hanya minum segelas air putih tawar saat berbuka, dan berdoa tanpa henti pada malam hari.

Suatu malam, Ny. Rokayah terkejut melihat dua makhluk aneh masuk ke dalam kios melalui lubang kunci. Makhluk-makhluk tersebut ternyata tuyul, berukuran kecil seperti bayi, yang dengan gesitnya langsung menuju laci tempat ia menyimpan uang di meja. Satu di antara mereka bersembunyi di bawah meja, sementara yang lainnya masuk ke dalam laci.

Tanpa ragu, Ny. Rokayah segera menangkap salah satu tuyul dengan tangan kirinya dan memukulnya ke lantai. Tuyul itu berteriak dan memohon untuk dilepaskan. Setelah ditanya, tuyul itu mengakui bahwa ia adalah anak piaraan tetangga sebelah, Bu Wignyo. Ny. Rokayah kemudian mengutuk tuyul itu agar tidak lagi mencuri uang di kiosnya, dan melepaskannya.

Namun, keesokan harinya, Ny. Rokayah dihadapkan oleh Bu Wignyo yang marah karena anaknya disakiti.

Dari pengalamannya itu, Ny. Rokayah menjelaskan bahwa untuk menangkap tuyul, harus menggunakan tangan kiri, karena jika menggunakan tangan kanan, tuyul akan mudah lolos.

Asal Usul Tuyul

Menurut Ong Hok Nam, dalam konteks tradisi masyarakat agraris di Jawa, konsep tuyul mencerminkan dampak sosial-ekonomi yang timbul akibat akumulasi modal dan kekayaan oleh golongan pedagang. Mitos tuyul mengemuka sebagai ekspresi dari perasaan iri sosial yang dirasakan oleh kalangan bawah terhadap kekayaan yang dimiliki oleh golongan atas.

 Dalam bukunya yang berjudul "Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong" (2002), Ong Hok Nam menjelaskan bahwa dalam pandangan masyarakat agraris, individu dengan kekayaan yang melimpah sering kali tidak dianggap sebagai bagian dari budaya Jawa. Hal ini terkait dengan pandangan rasial terhadap orang Tionghoa dan kelompok minoritas lainnya yang sering kali dihubungkan dengan kepemilikan kekayaan. 

Peter Carey dalam karyanya yang berjudul "Orang Jawa & Masyarakat Cina" (1986) mencatat adanya ketidakadilan dalam praktik pengenaan pajak antara petani Jawa dan pedagang Tionghoa. Sebelum terjadinya perang Jawa, sering kali petugas Tionghoa yang bertugas di pos cukai akan menyita hasil bumi milik petani karena dianggap tidak mampu membayar pajak. Akibatnya, petani tersebut terlantar di sekitar pos cukai. Sementara menunggu barangnya dikembalikan, mereka terpaksa menghadapi godaan untuk menggunakan candu yang dijual oleh pedagang Tionghoa.